Pertanyaan Mengenai Naik
Mengapa Anda mengkritik Zakir Naik?
Bukankah Zakir Naik baik jika ia meningkatkan iman orang pada Firman Tuhan?
Pertanyaan Mengenai Sudut Pandang
Mengapa Anda tidak mengikuti ajaran Islam dan Ulama pada kebanyakan?
Di antara kaum Muslim dan non-Muslim, adanya paguyuban, tradisi manusia, dan keengganan untuk menguji kembali keyakinan menghalangi kita dari kebenaran dan pengembangan. Dalam Al-Qur’an kita menemukan prinsip seperti ini:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti PERSANGKAAN BELAKA, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Quran, Sura Al-An’am 6:116)
Isa Al-Masih mengajarkan prinsip yang sama:
“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya. (Matius 7:13,14)
Perintah Tuhan kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia. (Markus 7:8)
Ini adalah kesalahan orang-orang Yahudi – mereka mengabaikan hukum Taurat dan menjadi terpusat kepada tradisi ulama-ulama mereka yang jelas-jelas bertentangan dengan Firman Tuhan.
Berpikirlah untuk Dirimu Sendiri?
Lanjutan ayat Al-Qur’an di atas:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti PERSANGKAAN BELAKA, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-Qur’an, Sura al-An’am 6:114-116)
Banyak pelajar muda Muslim diajarkan sejak awal untuk tidak mempertanyakan ajaran agama pada kebanyakan. Mereka yang bertanya dengan tulus tentang wewenang keagamaan dihadapkan dengan ancaman dan intimidasi: ‘Apakah kamu lebih baik dari para sahabat yang berjuang dengan Nabi?’, atau ‘Apakah kamu membenci Nabi yang kamu pertanyakan Sunnahnya? ” Dan jika mereka orang yang lebih tua, mereka hanya mengulangi kepada generasi muda apa yang diceritakan kepada mereka tentang masuk neraka dan melecehkan Nabi. Sebaliknya, Al-Qur’an mengatakan bahwa kebanyakan masuk neraka karena mereka tidak berpikir kritis tetapi hanya mengikuti persangkaan belaka. Setiap orang memiliki kewajiban di hadapan Tuhan untuk menggunakan akal dan kecerdasannya dengan sebaik mungkin untuk memahami apa yang Firman Tuhan benar-benar sampaikan, bukannya membabi buta mengikuti ulama yang bisa salah.
Mengapa Anda tidak mengikuti hadits?
Pilihannya adalah apakah kita mau berpusat kepada hadits (tradisi manusia yang bukan wahyu) atau Firman Tuhan. Hadits baru dikumpulkan sampai sekitar 200 tahun setelah kematian Muhammad, pertama kali oleh Imam Bukhari (w. 256/870). Dalam pengantarnya, Bukhari menyatakan bahwa dari hampir 600.000 hadits, ia hanya bisa merekam sekitar 1% yang otentik. Secara umum para ulama Muslim mengakui bahwa ada ribuan hadits palsu yang disusun pada periode awal Islam dan ini diperbolehkan. Muhammad (saw) sendiri mengatakan:
“Jangan menulis apa pun dariku kecuali Al-Qur’an. Siapa pun yang menulisnya, harus menghancurkannya.” (Muslim, Zuhd 42:7147; Hanbel 3/12, 21,39)
Khalifah Umar tahu betul ini, dan karena itu:
“… Ia memerintahkan umat Islam di seluruh provinsi: “Siapa pun yang memiliki dokumen berisikan sebuah hadits, harus menghancurkannya.” Oleh karenanya Hadits terus disebarkan secara lisan dan tidak dikumpulkan dan ditulis sampai masa al-Mamun. (Muhammad Husain Haikal, The Life of Muhammad [Kehidupan Muhammad], Kairo, 1935)
Umar juga memerintahkan Abu Hurairah untuk tidak lagi memberitakan Hadits. Demikian juga Zaid Ibn Thabit (pengumpul utama Al-Qur’an) mengingatkan kembali 30 tahun setelah kematian Muhammad, “Rasul Allah memerintahkan kita untuk tidak pernah menulis apapun dari haditsnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hanbal)
Meskipun Tuhan berjanji untuk melindungi Firman-Nya, Dia tidak memberikan janji-janji yang sama untuk melestarikan tradisi manusia. Bahkan di antara tradisi Bukhari ada tradisi yang bertentangan dan kemustahilan yang tidak dapat diterima. Al-Qur’an berulang-ulang menekankan keabsahan kitab-kitab sebelumnya, tapi tidak pernah menyinggung soal hadits yang datang belakangan.
Tinggalkan Balasan